skip to main |
skip to sidebar

2/15/2013 05:36:00 PM

MEDIA ONLINE LUKMAN
Kata “Al Qirtas” yang dalam bahasa indonesianya kertas oleh mereka dipakai hanyalah kepada benda/ bahan yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu : kullit binatang, batu tipis dan licin, pelepah kurma, tulang inatang dal lain-lain. Setelah menaklukkan Persia, barulah mereka mengenal kertas. Orang Persia menamainya“Kaqhid”, maka dipakailah kata kaqhid itu untuk kertas oleh bangsa Arab. Sebelum ataupun pada masa nabi saw kata “ Al Kaqhi” itu tidak ada dalam pemakaian bahasa Arab. Kemudian kata “al qitahas” itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan kaqhid daam bahasa Persia itu. Kata kitab/ buku , juga belum ada pada mereka. Kata “ Kitab “ pada masa itu hanyalah berarti : sepotong kulit, batu, tulang yang telah bertulis, atau berarti surat. Begitu juga dengan“kutub” yang dikirimkan oleh nabi kepada raja-raja di masanya, untuk menyeru mereka kepada islam. Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu Al Qur’anul Karim itu dibukukan di masa khalifah Utsman Bin Affan, mereka tidak tahu dengan apa Al qur’an yang telah dibukukan itu dinamai. Bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama Al Qur’an. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan “al Mushaf” artinya mengumpulkan (shuhuf), jamak darri shohifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis.
Tiap tiap ayat diturunkan, nabi menyuruh menghafalnya, dan menulliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar, dan apa saja yang dapat disusun dalam surat. Nabi menerangkan tertib uruut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu al qur’an sajalah yang boleh diturunkan, sedagkan yang lain seperti hadits, pelajaran yang mereka dengar dari nabi, dilarang menuliskannya.larangan ini dimaksudkan supaya Al qur’an terpelihara, dan tidak tercampur dengan yang lain. Nabi menganjurakan suppaya al qur’an dihafalkan, selalu dibaca, dan diwajibkannya membacanya dalam sembahyang. Dengan jalan demikian banyaklah orang yang menghafal al qur’an. Surat yang saatu macam, dihafal oleh ribuan orang, dan banyak yang hafal selluruh al qur’an. Dalam hal ini tidak ada satu ayatpun tang tidak tertuliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan disambut dengan gembira oleh nabi saw. Beliau berkata :
Al Qur’anul Karim adalah Kitabullah yang diturunkakn kepada Nabi Muhammad SAW mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan dan kisah-kisah, filsafah, peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk social, sehingga berbahagia di dunia dan akhirat. Al Qur’anul Karim dalam menerangkan hal-hal yang tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hokum warisan, dan sebagainya. Dan ada pula dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadits Nabi saw, dan ada yang diserahkan kepada kaum muslimin sendiri untuk memperincinya sesuai dengan keperluan kelompok manusia, keadaan, masa dan tempat, seperti dalam soal kenegaraan. Al Qur’an menggunakan prinsip musyawrah adanya suatu badan yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil dan sebagainya.
Pada masa Rasulullah saw kebutuhan tentang tafsir Al Qur’an belum begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat kurang memahami suatu ayat Al Qur‘an , mereka dapat langsung menanyakkan kepada Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Setelah Rasulullah wafat, apalagi setelah islam meluaskan sayapnya ke luar Jaziratul Arab, dan memasuki ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama, terjadilah persinggungan antara agama Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaanya di satu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah mempunyai pengalaman, perkembang an serta keuletan daya juang dipihak yang lain. Di samping itu kaum muslimin sendiri menghadapi persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemuluhan kekuasaan berhubungan dengan meluasnya daerah Islam. Pergeseran, persinggungan dan keperluan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan baru itu akan bias dipecahkan apabila ayat Al Qur’an di taafsirkan dan diberi komentar untuk menjawab persoalan-persoalan yang baru muncul itu. Maka tampillah kemuka beberapa sahabat dan tabiin memberanikan diri menafsirkan ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum tersebut, sesuai batas-batas lapangan berijtihad bagi kaum muslimin.
Posted in: MASALAH AGAMA ISLAM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Facebook